Oleh : B.Luming H (Kord.Wartawan Media Reportase Indonesia) |
Pada hasil hitung cepat dan real count Pemilu Legislatif lalu, tak ada satu pun partai politik yang memperoleh suara mayoritas, sehingga Koalisi pun Gencar dilakukan. Tiga partai yang berhasil mencapai suara diatas 10 persen namun dibawah 20 persen, yaitu PDI Perjuangan, Golkar dan Gerinda terus menjalin komunikasi dengan Partai papan tengah untuk memuluskan langkah calon Presidennya masing-masing. Namun kabarnya politik “dagang sapi”atau politik transaksional juga terjadi pada pemilu 2014 ini bahkan dengan harga hingga 10 kali lipat dibanding pemilu 2009. benarkah?
Jelang Pilpres 9 juli mendatang, suhu politik kian memanas partai politik semakin gencar melakukan aksi Koalisi, apabila hasil pemilu legis¬latif 9 april lalu ternyata tidak satu partai pun yang mencapai 20 persen suara berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count) hampir seluruh lembaga menempatkan PDI-P Golkar dan Gerinda sebagai tiga besar pemenang Pileg 2014. tidak ada dominasi salah satu partai sebagai pemenang hanya terpaut 4 persen dan Golkar yang menempati urutan yang ke-2 dan 8 persen dengan Gerinda yang menempati urutan yang ke-3.
Hasil Pileg 2014 ini pun membuat tidak adanya partai yang dapat mengusung sendiri calon presiden dalam pemilihan umum presiden (Pilpres) juli nanti, karena tidak ada yang dapat memenuhi presidential threshold (PT) 20% untuk kursi DPR dari total jumlah kursi di senayan dan 25% perolehan suara nasional dalam pileg sesuai dengan undang-undang (UU) No. 42 tentang pemilihan umum presiden (Pilpres) tahun 2008. artinya untuk mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil Presiden (Cawapres) partai memerlukan dukungan dari partai lain untuk memenuhi PT yang di syaratkan, sehingga jalan yang harus ditempuh adalah koalisi.
Tak heran partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) langsung melakukan aksinya berkoalisi dengan partai lain agar bisa mengajukan calon presiden (Capres) pada pemilihan presiden juli mendatang. Setelah melakukan pertemuaan dengan partai lain PDI-P pun akhirnya berkoalisi dengan partai Nasdem.
Begitu pun partai lain yang memiliki perolehan suara di bawah 20% sehingga mau tidak mau partai-partai ini harus berkoalisi dengan partai-partai lain. Selain agar dapat mengusung Capres dan Cawapres, koalisi antara partai ini menjadi sangat penting untuk mengatur kekuatan di parlemen partai nantinya. Seperti halnya partai Gerinda yang sempat akan berkoalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) namun ketua Majelis syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) KH. Maimun Zubair, meminta pengurus pusat PPP tidak menentukan koalisi terlebih dahulu dengan partai lain dengan waktu dekat.
Dibandingkan dengan PDI-P dan Gerinda, partai Golkar terkesan belum bergerak untuk membuka pendekatan antara partai meski demikian, beberapa waktu lalu partai Golkar tidak akan berkoalisi dengan parta PDI-P pada pemilihan umum 2014 hal itu karena PDI-P telah menetapkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, sebagai calon Presiden. Padahal partai Golkar Juga sudah mengusung ARB sebagai Capres. Partai Golkar membentuk poros baru koalisi partai politik (parpol) untuk pemilihan presiden (pilpres) 2014 yang diberi nama Aliansi Rakyat Bersatu (ARB).
Poros ARB tersebut menambah daftar poros parpol lainnya yang beredar, seperti poros tengah, poros parpol pedukung capres Jokowi dan Poros pedukung Prabowo presiden. Ada pula partai islam di papan tengah yang membuat wacana koalisi partai islam pasca-pileg. Namun poros partai islam masih dinilai sulit, karena belum memiliki tokoh yang akan dicapreskan.
Pada Pileg 2014, suara yang diperoleh keempat partai Islam (PPP, PKB, PAN, PKS) meningkat dibanding hasil Pileg 2009. Hanya saja perolehan suara itu masih jauh dari cukup untuk bisa mengusung sendiri pasangan Capres dan Cawapres. Meski pun demikian, jika partai-partai Islam itu mau bersatu, mereka bisa mengusung pasangan Capres/Cawapres sendiri. Gabungan partai-partai Islam memiliki lebih dari 31% suara, jauh di atas 25% yang dipersyaratkan untuk memenuhi presidential threshold.
Politik Dagang Sapi
Di tengah gencarnya proses komunikasi politik antara Parpol untuk membentuk koalisi, lobi-lobi politik pun giat dilakukan. Tak pelak politik dagang sana-sini sudah menjadi rahasia umum koalisi partai politik identik dengan politik transaksional atau dagang sapi. Kian suburnya praktek politik dagang sapi lantaran tidak signifikannya partai politik memperoleh suara pada pemilu legislatif 2014.
Kabar jalinan komunikasi antar parpol untuk membentuk koalisi jelang pilpres 2014 ini berjalan cukup alot. Di kalangan Capres mengatakan koalisi saat ini tampak tidak bergerak lantaran terjadi “praktek” dagang sapi dengan harga gila-gilaan. Kalau dulu harga sebuah partai sekisar Rp 30 sampai Rp 50 miliar plus jatah kursi menteri, sekarang harga lima tahun lalu itu sudah naik sampai 10 kali lipat plus masih meminta jabatan menteri atau sekitar Rp 400-500 miliar.
Tak hanya uang mahar tawar menawar kekuasaan seperti akan masih terjadi menjelang pilpres mendatang parpol yang memiliki suara signifikan pada pemilu leggislatif (Pileg) 9 april lalu tentu mempunyai posisi tawar yang cukup tinggi. Hal itu bisa dilihat dari banyak parpol yang terang- terangan meminta jatah calon wakil Persiden sebagai syarat berkoalisi dengan parpol memiliki jumlah suara lebih besar.
DPP PKB sebelumnya dikabarkan meminta posisi calon wakil Presiden dalam koalisi untuk pemilu Presiden mendatang, permintaan itu juga sudah disampaikan PDI-P saat petinggi partai bertemu beberapa waktu lalu. Namun kemudian hal itu di bantah oleh PKB dari pengalaman pemilu 2009, partai mendukung SBY - Budiono terpecah soal jatah menteri di kabinet sebagian partai secara terang-terangan me¬minta SBY melibatkan mereka di kabinet sepenuhnya kepada SBY.
Koalisi memang cukup dalam memenangkan capres yang diusung partai politik. Seperti di tahun 1999 pasca-reformasi partai amanat nasional (PAN) dan partai persatuan pembangunan (PPP) memelopori terbentuknya sebuah koalisi poros tengah yang merupakan koalisi partai-partai secara ideologis berbasis partai islam pada waktu itu, akhirnya sukses menempatkan KH. Abdurahman Wahid (GUSDUR) sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia. Koalisi poros tengah ini terbentuk karena PDI-P yang pada waktu itu sebagai partai pemenang di pemilihan umum legislatif tahun 1999 dengan perolehan 153 kursi dari 500 kursi di DPR (33.7%) merasa percaya diri sehingga enggan untuk membuka pintu koalisi kepada partai manapun, akhirnya muncul inisiatif dari PAN dengan Amin Rais-nya bersama PPP membentuk koalisi partai-partai islam.
Di tahun 2004 pada saat pemilihan presiden secara langsung pertama kali, partai Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif pada saat itu dan mengusung H. WIRANTO SH, Ir H. SALAHUDIN WAHID harus mengakui keunggulan pasangan H. susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Drs H. Muhamad Jusuf Kalla (JK) yang didukung oleh Partai minoritas pada saat itu (PARTAI DEMOKRAT, PBB, dan PKPI) sehingga pada Pilpres putaran ke-2 terjadi koalisi yang lebih besar untuk melawan calon dari partai PDI-Perjuangan yaitu Mega Wati Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi, partai Golkar, PKB PPP dan PKS pun menjadi koalisi yang disebut koalisi kerakyatan yang memenangkan SBY-JK.
Begitu pun di tahun 2009, ketika dominasi di PILEG dikuasai tiga partai, partai demokrat (20,85%), partai Golkar (14,45%) dan PDI-P (14,03%) memunculkan konfigurasi persaingan di pilpres dengan koalisi pendukungnya SBY - Budiono didukung oleh (partai Demokrat, PKB, PKS, PAN dan partai-partai kecil lainnya), JK - Wirato didukung oleh (Golkar, Hanura, PKNU, BARNAS, PDK) Mega Wati – Prabowo Subianto (PDI-P, Gerinda, serta partai partai kecil berbasis nasionalis) hasil pilpres 2009 terjadi hanya satu putaran dan kembali memenangkan SBY sebagai Presiden RI yang pada akhirnya membentuk suatu koalisi besar dalam pemerintah, termasuk Golkar.
Praktek koalisi untuk pilpres pada Juli mendatang dimungkinkan, sebab Undang-Undang menyatakan bahwa parpol yang boleh mencalonkan Capres / Cawapres harus mencapai 20% dari total kursi DPR jika tidak mencapai target maka harus koalasi. “Nah dalam koalisi sangat rentan terjadinya praktek “dagang sapi” alih-alih melakukan power sharing tapi terdapat jual beli suara, untuk mencapai boarding pass. Di sisi lain system politik di indonesia tidak memungkinkan partai bergerak sendiri sekali pun sudah mencapai target 20% karena itu partai harus berusaha mencapai suara terbanyak.
Menanggapi kabar yang menyebut mahar koalisi partai antara 30-50 miliar pada tahun 2009 yang kemudian naik 10 kali di tahun 2014 ini mencapai Rp 500 miliar, menurutnya menjadi hal yang wajar karena memang system politik Indonesia menciptakan peluang transaksional. Dengan kondisi seperti ini maka kita layak untuk tidak percaya jika ada politisi yang menyatakan bahwa mereka berkoalisi karena sikap idealisme atau bahkan tidak akan berbagi-bagi kursi.
Mengenai dampak dari praktek tersebut menurut Agung Auprio ada tiga hal, pertama jika politik transaksional yang melibatkan jumlah uang yang luar biasa besar terjadi maka sesungguhnya Negara ini dikuasai oleh mafia, karena boleh jadi mahar yang luar biasa itu berasal dari mafia internasional yang di mana nantinya berlaku adigium “tidak ada makan siang gratis.”
Kedua tidak ada lagi idealisme bagi elite politik yang hanya memahami politik sebagi who get what. Sementara dimensi etis dan idiologis digadaikan. Ketiga, teori-teori politik akan runtuh jika berhadapan dengan politik uang seperti kasus ini. “Sayangnya bagi peneliti atau ilmuan, politik sangat sulit untuk membentuk rumor tersebut karena tingkat kerahasiaan yang tinggi. Ibaratnya mereka hanya dapat mengendus bau kentutnya saja tapi tidak mampu untuk menangkap orang yang kentut itu. Karena terlalu banyak orang, oleh karena itu, saya setuju dengan gagasan untuk menyatakan politik transaksional ini sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga KPK punya kewenangan untuk menyadap dan menangkap para elite politik dan mafianya,” ujar Agung Suprio.
Membantah
Politisi PKS Fahri Hamzah membantah adanya permintaan Mahar sebesar Rp 500 miliar untuk memberi dukungan kepada salah satu partai. Itu fitnah kita koalasi karena visi dan misi. Untuk saat ini PKS. Belum menentukan berkoalisi dari partai mana,” pungkasnya. Bantahan yang sama juga dikatakana politisi PKB, Marwan Jafar terkait kabar menyatakan adanya permintaan mahar sebesar 400 miliar bila ingin mendapat dukungan dari PKB, “sama sekali tidak benar dan Fitnah,” ujarnya. (***)
0 komentar:
Posting Komentar